Stadion Baru Piala Dunia: Dari Kutukan Hingga Kematian

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Stadion Baru Piala Dunia: Dari Kutukan Hingga Kematian

Menjadi tuan rumah Piala Dunia menjadi gelar prestisius. Untuk menyukseskan gelaran empat tahunan itu, tuan rumah mempersiapkan diri dengan membangun berbagai infrastruktur pendukung dan menggelontorkan dana yang tidak sedikit.

Tidak jarang, tuan rumah harus membangun stadion baru untuk menggelar Piala Dunia. Qatar, misalnya. Tujuh dari delapan stadion yang digunakan tuan rumah Piala Dunia 2022 itu merupakan stadion baru yang khusus dibangun untuk Piala Dunia.

Delapan stadion yang menjadi venue pertandingan merupakan hasil pemakaian ulang material dari barang yang sudah tidak terpakai agar ramah lingkungan. Salah satunya adalah Stadion 974 yang bisa dibongkar pasang dan material kontainer yang menjadi bahan bangun stadion tersebut juga berjumlah 974. Di sisi lain, angka tersebut merupakan kode panggilan internasional untuk Qatar.

Qatar bukan satu-satunya yang membangun stadion baru untuk pesta bola dunia. Brazil, misalnya, membangun beberapa stadion baru, salah satunya Stadion Arena de Amazonia di Manaus untuk Piala Dunia 2014. Dari 12 venue yang digunakan Brazil, lima di antaranya adalah stadion lama yang direnovasi, salah satunya adalah Stadion Maracana.

Stadion Maracana sendiri dibangun untuk ajang Piala Dunia 1950. Nahas, ketika Brazil melakoni laga penentuan juara Piala Dunia 1950, Stadion Maracana menjadi saksi tangis sedih pendukung Brazil.

Kekalahan di Maracana yang Menciptakan Mitos

Brazil harus menghadapi sesama negara Amerika Latin, Uruguay, di partai terakhir untuk menentukan gelar juara . Sebagai pengingat, sistem yang digunakan ketika itu adalah round robin dan Brazil hanya butuh hasil seri untuk menjadi juara.

Tim asuhan Flavio Costa diunggulkan untuk menjadi juara karena mempunyai skuad yang mumpuni. Trio lini serang mereka diisi oleh Chico, Ademir, dan Friaca. Di sektor gelandang mereka mempunyai Zizinho dan di bawah mistar ada Moacir Barbosa.

Hampir dua ratus ribu tiket terjual untuk pertandingan itu sekaligus mencetak rekor sebagai pertandingan Piala Dunia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa. Joao Luiz de Albuquerque, yang kala itu baru berusia 11 tahun, merupakan satu di antara ribuan orang yang hadir menyaksikan pertandingan tersebut.

"Tidak ada yang gugup sedikit pun. Semua orang mengatakan kepada saya bahwa Brazil akan menang - keluarga saya, teman-teman saya, bahkan tukang susu," kata Albuquerque kepada BBC.

Tak ada gol yang tercipta di babak pertama meski Brazil memegang kendali permainan. Di babak keuda, Friaca berhasil membawa Brazil unggul di menit 47.

Pada menit 66, Uruguay berhasil menyamakan kedudukan. Alberto Schiaffino menerima umpan silang dari Ghiggia dan berhasil mengonversi umpan itu menjadi gol.

"Kami menjadi gila dengan kebahagiaan. Saya ingat merasa sedikit kasihan pada orang Brazil ketika kami melihat tribun, tetapi saya orang Uruguay dan memenangkan Piala Dunia adalah puncak karir saya," kenang Ghiggia, pemain yang mencetak gol kemenangan untuk Uruguay, dilansir dari BBC.

Pendukung Brazil yang memadati Stadion Maracana terdiam dan tentu saja banyak yang menangis ketika wasit George Reader meniup peluit akhir. "Saya ingat kami tidak bergerak selama 10 atau 15 menit. Saya tidak ingat Piala Dunia telah selesai atau apa. Saya hanya berpikir hal terburuk di dunia telah terjadi pada saya," kenang Albuquerque.

The Guardian menulis betapa berdukanya para penonton yang saat itu berada di Maracana. “Di tribun beton putih-biru yang besar, para wanita bersujud dengan kesedihan, dan penyiar itu sangat terkejut sehingga dia lupa untuk menyiarkan hasil pertandingan piala lainnya antara Spanyol dan Swedia untuk menentukan penempatan kecil. Dokter stadion merawat 169 orang karena histeria dan masalah lainnya. Enam dibawa ke rumah sakit karena sakit parah.”

Kekalahan atas Uruguay itu menciptakan mitos bagi Brazil; mereka tak akan juara kalau kiper mereka berkulit hitam. Moacir Barbosa dijauhi, diasingkan, dan dimusuhi dan ia meninggal dalam keadaan yang menyedihkan.

Sejak kekalahan itu hingga 2019, Brazil tak mau lagi memakai jersei berwarna putih lantaran hal itu dianggap sebagai kutukan.

Dibangun, Lalu Ditinggalkan

Selang 64 tahun, Brazil kembali menjadi tuan rumah Piala Dunia. Dan, mereka kembali membangun stadion baru, yakni Arena da Amazonia di Manaus.

Sedihnya, stadion yang dibangun di tengah hutan hujan tropis itu kini tidak terawat. Biaya perawatan yang mahal dan tidak ada klub yang memakainya menjadi penyebab stadion berkapasitas 44.300 itu tidak seindah seperti ketika digunakan untuk Piala Dunia.

Terakhir kali timnas Brazil bermain di stadion tersebut adalah pada 14 Oktober 2021 dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2022 melawan Uruguay. Saat itu Brazil berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 4-1. Namun, stadion hanya dihadiri oleh sekitar 12.000 penonton.

Nasib serupa terjadi pada Samara Arena, yang menjadi salah satu tempat pertandingan Piala Dunia 2018 di Rusia. Pada Agustus 2018, satu bulan setelah Piala Dunia berakhir, markas klub FC Krylia Sovetov Samara itu dibiarkan gelap lantaran menunggak pembayaran listrik.

Stadion-stadion yang digunakan untuk Piala Dunia dibangun dengan konstruksi yang apik, sehingga biaya perawatannya pun mahal. Sayangnya, setelah Piala Dunia, tidak semua stadion bisa aktif digunakan karena tidak adanya klub yang bermarkas di stadion tersebut atau letaknya yang memang tak strategis.

Beda Cerita di Qatar

Jelang Piala Dunia 2022, cerita-cerita sedih pun menyelimuti stadion-stadion baru di Qatar. The Washington Post pada 2015 menurunkan laporan yang menyebut sekitar 1.200 pekerja yang meninggal ketika mempersiapkan infrastruktur untuk Piala Dunia. Jumlah pasti dan penyebab pekerja migran yang meninggal belum diketahui secara pasti. Namun demikian, fakta bahwa tingginya jumlah pekerja migran di Qatar memang tak bisa dielak.

Ahmad Hussain, saudara salah satu pekerja migran di Qatar yang meninggal bernama Manjur Khan Pathan, menuturkan bahwa Pathan harus bekerja selama 12-13 jam dalam sehari. Sebagai seorang sopir kendaraan, bekerja dalam AC mobil yang mati dalam cuaca panas tentu sangat berisiko tinggi.

Amnesti Internasional juga menemukan pekerja yang terlantar dalam proyek pembangunan infrastruktur Piala Dunia. Mereka tinggal dalam sebuah kamp tanpa listrik yang lokasinya tak jauh dari proyek stadion. Amnesti Internasional juga mewawancarai sekitar 149 migran dari Nepal, dan mereka menyatakan bahwa mereka telah ditipu oleh agen atau majikan mereka mengenai jumlah gaji, jenis pekerjaan yang ditawarkan, jam kerja, upah lembur atau jam istirahat.

Kesedihan para pekerja migran tidak akan tersorot ketika stadion-stadion yang mereka bangun sedang menggelar pertandingan Piala Dunia. Yang menjadi sorotan kamera adalah raut murung suporter yang menyaksikan negara kesayangannya harus takluk oleh lawannya.

Tentu, tidak semua stadion baru untuk Piala Dunia hanya menghadirkan kisah sedih. Ada juga stadion-stadion yang kemudian digunakan secara berkelanjutan dan hidup secara sehat. Ini semua adalah tentang perencanaan matang, transparan, serta profesional.

Bagaimana dengan stadion-stadion di Qatar nanti? Rencananya, Qatar akan membongkar beberapa stadion setelah Piala Dunia. Stadion 974, misalnya, akan diubah menjadi wilayah pelabuhan.

Semoga saja, warisan Piala Dunia 2022 tidak seburuk persiapannya.

Komentar